Antropologi Kelas 12
Teori-Teori tentang Religi Menurut Para Ahli
Kukemo.com Antropologi Kelas 12 – Teori-Teori tentang Religi Menurut Para Ahli
Teori-Teori tentang Religi Menurut Para Ahli – Manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggapnya lebih tinggi dari dirinya. Manusia melakukan berbagai macam cara untuk mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tersebut. Menurut teori yang terpenting, perilaku manusia bersifat religi karena sebab-sebab sebagai berikut.
a. Manusia mulai sadar akan adanya konsep roh.
b. Manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tidak dapat dijelaskan dengan akal.
c. Keinginan manusia untuk menghadapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam daur hidupnya.
d. Kejadian-kejadian luar biasa yang dialami manusia di alam sekelilingnya.
e. Adanya getaran (yaitu emosi) berupa rasa kesatuan yang timbul dalam jiwa manusia sebagai warga negara masyarakat.
f. Manusia menerima suatu firman dari Tuhan.
Adapun teori-teorinya antara lain sebagai berikut.
a. Teori Roh
Teori ini dikemukakan oleh E.B. Tylor. Menurut Tylor, asal mula religi merupakan kesadaran manusia akan konsep roh. Hal itu terjadi karena dua sebab.
1) Perbedaan yang tampak antara benda hidup dan benda yang mati. Makhluk yang masih dapat bergerak disebut makhluk hidup, tetapi apabila tidak bergerak lagi, maka itu berarti bahwa makhluk tersebut mati.
Dengan demikian, manusia lama-kelamaan mulai menyadari bahwa gerak dalam alam (yaitu hidup) disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di samping tubuh jasmaninya, yakni jiwa (yang kemudian lebih khusus disebut roh).
Dengan demikian, manusia lama-kelamaan mulai menyadari bahwa gerak dalam alam (yaitu hidup) disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di samping tubuh jasmaninya, yakni jiwa (yang kemudian lebih khusus disebut roh).
2) Pengalaman bermimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya berada di tempat-tempat lain selain tempat ia tertidur. Maka ia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur, dan bagian lain dari dirinya, yaitu jiwanya (rohnya), yang pergi ke tempat lain.
b. Teori Batas Akal
Teori ini dikemukakan oleh J.G. Fraser. Dalam bukunya The Golden Bough jilid I seperti ditulis oleh Koentjaraningrat (2002:196–197), ia mengatakan bahwa manusia memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan manusia terbatas. Makin maju kebudayaannya, makin luas batas akal itu. Dalam banyak kebudayaan batas akal manusia masih sangat sempit. Soal-soal hidup yang tidak dapat mereka pecahkan dengan akal, dipecahkan dengan magic, atau ilmu gaib.
Menurut Frazer, ketika religi belum hadir dalam kebudayaan manusia, manusia hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan masalah-masaah hidup yang berada di luar jangkauan akal dan pengetahuannya. Ketika mereka menyadari bahwa ilmu gaib tidak bermanfaat bagi mereka, mulailah timbul kepercayaan bahwa alam dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa, dengan siapa manusia kemudian mulai mencari hubungan, sehingga timbullah religi.
c. Teori Masa Krisis dalam Hidup Individu
Pandangan seperti ini dikemukakan oleh M. Crawley dalam bukunya Tree of Life (1905) dan A. van Gennep dalam bukunya Rites de Passage (1909). Dalam buku yang ditulis oleh Koentjaraningrat (1002: 197), kedua pakar menyatakan bahwa selama hidupnya manusia mengalami berbagai krisis yang sangat ditakuti oleh manusia, dan karena itu menjadi objek dari perhatiannya. Terutama terhadap bencana sakit dan maut, segala kepandaian, kekuasaan, dan harta benda yang dimilikinya, manusia tidak berdaya.
Bagi manusia, ada saat-saat ketika manusia mudah jatuh sakit atau tertimpa bencana. Misalnya masa kanak-kanak, atau saat ia beralih dari usia pemuda ke usia dewasa, masa hamil, melahirkan, dan saat ia menghadapi sakratul maut. Pada saat-saat seperti itu manusia merasa perlu melakukan sesuatu untuk memperteguh imannya, yang dilakukannya dengan upacara-upacara. Perbuatan-perbuatan inilah yang merupakan pangkal dari religi dan merupakan bentuk-bentuk yang tertua.
d. Teori Kekuatan Luar Biasa
Pendapat ini diajukan oleh R.R. Marret. Ia tidak sependapat dengan Tylor. Menurutnya, kesadaran seperti itu terlalu kompleks bagi pikiran makhluk manusia yang baru berada pada tingkat-tingkat awal dari kehidupannya. Ia juga mengatakan bahwa pangkal dari segala perilaku keagamaan ditimbulkan oleh perasaan tidak berdaya dalam menghadapi gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupannya.
Alam dianggap sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenalnya dalam alam sekelilingnya, disebut the supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu dianggap sebagai akibat dari kekuatan supernatural (atau kekuatan sakti).
e. Teori Elementer Mengenai Hidup Beragama
Tokoh teori ini merupakan E. Durkheim. Inti dari teori seperti terdapat dalam buku tulisan Koentjaraningrat (2002 : 199) merupakan sebagai berikut.
1) Sejak awal keberadaannya di muka bumi, manusia mengembangkan religi karena adanya getaran jiwa, yaitu suatu emosi keagamaan, yang timbul dalam jiwanya karena adanya emosi terhadap keagamaannya, dan bukan karena dalam pikirannya manusia membayangkan adanya roh yang abstrak, berupa kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak dalam alam semesta ini.
2) Dalam pikirannya, emosi keagamaan itu berupa perasaan yang mencakup rasa keterkaitan, bakti, cinta, dan sebagainya, terhadap masyarakatnya sendiri, yang baginya merupakan seluruh dunianya.
3) Emosi keagamaan tidak selalu berkobar-kobar setiap saat dalam dirinya. Apabila tidak dirangsang dan dipelihara, emosi keagamaan itu menjadi latent (melemah), sehingga perlu dikorbarkan kembali, antara lain melalui kontraksi masyarakat (mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa).
4) Emosi keagamaan yang muncul itu membutuhkan suatu objek tujuan. Mengenai apa yang menyebabkan bahwa sesuatu hal menjadi objek dari emosi keagamaan, bukanlah terutama sifatnya yang luar biasa atau aneh dan megah, tetapi adanya tekanan berupa anggapan umum dalam masyarakat, misalnya karena salah satu peristiwa secara kebetulan pernah dialami orang banyak. Objek yang menjadi tujuan emosi keagamaan juga dapat bersifat sacre (keramat), sebagai lawan dari sifat profan (tidak keramat), yang tidak memiliki nilai keagamaan.
5) Suatu objek keramat sebenarnya merupakan lambang dari suatu masyarakat. Pada suku-suku bangsa asli di Australia, objek keramat yang menjadi objek emosi kemasyarakatannya sering kali berwujud suatu jenis hewan atau tumbuh-tumbuhan. Para pakar menyebut prinsip yang berada dibelakang objek dari suatu kelompok dalam masyarakat (misalnya klan atau kelompok kerabat) dengan istilah totem.
Selanjutnya baca juga Materi Fungsi Psikologis dan Sosial Agama atau Religi dan Kepercayaan. Demikianlah penjelasan Teori-Teori tentang Religi, semoga bermanfaat.
Selanjutnya baca juga Materi Fungsi Psikologis dan Sosial Agama atau Religi dan Kepercayaan. Demikianlah penjelasan Teori-Teori tentang Religi, semoga bermanfaat.
Sumber:unpedia.blogspot.com
Kukemo Education/caption]
Email Subscribe For Daily Informaion From Us.
Posting Komentar